Rabu, 30 September 2015

Kerajaan Pajang dan Mataram Islam

Kerajaan Pajang dan Kerajaan Mataram Islam


KELOMPOK 3


*  Anindiya Handayani
*  Deanatha Angelia Ramadhini
*  Fijriani Juli Kartika .P
*  Maya Aulia Rahma
*  Nurhayati Tanjung
*  Suci Nila Sari Ajis
*  Widya Pratiwi




XI IPA 1

SMA Al – Azhar 3 Bandar Lampung
TP 2015-2016

KERAJAAN PAJANG
Kerajaan Pajang adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah sebagai kelanjutan Kerajaan Demak. Kompleks keraton, yang sekarang tinggal batas-batas fondasinya saja, berada di perbatasan Kelurahan Pajang, Kota Solo dan Desa Makam haji,Karatsura,Sukoharjo. Berikut ini Kumpulan Sejarah akan menyajikan informasi selengkapnya mengenai Sejarah Kerajaan Pajang

AWAL BERDIRI KERAJAAN PAJANG

Pada abad ke-14 Pajang sudah disebut dalam kitab Negarakertagama karena dikunjungi oleh Hayam Wuruk dalam perjalanannya memeriksa bagian Barat. Antara abad ke-11 dan 14 di Jawa Tengah Selatan tidak ada Kerajaan tetapi Majapahit masih berkuasa sampai kesana. Sementara itu, di Demak mulai muncul Kerajaan kecil yang didirikan oleh tokoh-tokoh beragama Islam. Namun, sampai awal abad ke-16 kewibawaan raja Majapahit masih diakui.
Baru pada akhir abad ke 17 dan awal abad ke-18 para penulis kronik di Kartasura menulis seluk beluk asal usul raja-raja Mataram dimana Pajang dilihat sebagai pendahulunya. Pajang sendiri sebagai kelanjutan dari Pengging pada tahun 1618 yang pernah dihancurkan ibukota dan sawah ladangnya oleh pasukan-pasukan dari Mataram karena memberontak. Di bekas kompleks keraton Raja Pajang yang dikubur di Butuh banyak ditemukan sisa-sisa keramik asal negeri Cina.

Ceritera mengenai sejarah Pajang malah termuat dalam kitab Babad Banten yang menyebutkan Ki Andayaningrat berputera 2 orang yaitu, Kebo Kenanga dan Kebo Kanigara. Meskipun Majapahit ambruk pada tahun 1625, Pengging dibawah Kebo Kenanga berdaulat terus hingga pertengahan abad ke-16. untuk menundukkan pengging Raja Demak memanfaatkan jasa Ki Wanapala dan Sunan Kudus, dengan cara pendahuluan berupa adu kekuatan ngelmu.

Dua tahun kemudian, Kebo Kenanga berhasil dibunuh sedangkan anak laki-lakinya yaitu Jaka Tingkir kelak mengabdi ke Istana Demak untuk akhirnya mendirikan Kerajaan Pajang dengan sebutan Adi Wijaya.

RAJA-RAJA YANG MEMERINTAH DI KERAJAAN PAJANG

Jaka Tingkir

Nama aslinya adalah Mas Karèbèt, putra Ki Ageng Pengging atau Ki Kebo Kenanga. Ketika ia dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan wayang beber dengan dalang Ki Ageng Tingkir.[1] Kedua ki ageng ini adalah murid Syekh Siti Jenar. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia.

Sepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak terhadap Kesultanan Demak. Sebagai pelaksana hukuman ialah Sunan Kudus. Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal pula. Sejak itu, Mas Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir). Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda yang gemar bertapa, dan dijuluki Jaka Tingkir. Guru pertamanya adalah Sunan Kalijaga. Ia juga berguru pada Ki Ageng Sela, dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng yaitu, Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi.

Di zaman Adiwijaya memerintah Pajang, yaitu pada tahun 1578 seorang tokoh pemimpin Wirasaba, yang bernama Wargautama ditindak oleh pasukan-pasukan kerajaan dari pusat. Berita dari Babad Banyumas ini menunjukkan masih kuatnya Pajang menjelang akhir pemerintahan Adiwijaya. Kekuasaan Pajang ke Timur meliputi wilayah Madiun dan disebutkan bahwa Blora pada tahun 1554 menjadi rebutan antara  Pajang dan Mataram.
GreEn (66).jpg
Ada dugaan bahwa Adiwijaya sebgai raja islam berhasil dalam diplomasinya sehingga pada tahun 1581, ia diakui oleh raja-raja kecil yang penting dikawasan Pesisir Jawa Timur. Untuk peresmiannya pernah diselenggarakan pertemuan bersama di istana Sunan Prapen di Giri, hadir pada kesempatan itu para Bupati dari Jipang, Wirasaba (Majaagung), Kediri, Pasuruan, Madiun, Sedayu, Lasem,Tuban, dan Pati. Pembicara yang mewakili tokokh-tokoh Jawa Timur adalah Panji Wirya Krama, Bupati Surabaya. Disebutkan pula bahwa Arosbaya (Madura Barat) mengakui Adiwijaya sehubunga dengan itu bupatinya bernama Panembahan Lemah Duwur diangkat menantu Raja Pajang.

Arya Pangiri


Arya Pangiri adalah putra Sunan Prawoto raja keempat Demak, yang tewas dibunuh Arya Penangsang tahun 1549. Ia kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat di Jepara.

Arya Penangsang kemudian tewas oleh sayembara yang diadakan Hadiwijaya bupati Pajang. Sejak itu, Pajang menjadi kerajaan berdaulat di mana Demak sebagai bawahannya. Setelah dewasa, Arya Pangiri dinikahkan dengan Ratu Pembayun, putri tertua Sultan Hadiwijaya dan dijadikan sebagai bupati Demak.

Sepeninggal Sultan Hadiwijaya akhir tahun 1582 terjadi permasalahan takhta di Pajang. Putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan Arya Pangiri dengan dukungan Sunan Kudus. Alasan Sunan Kudus adalah usia Pangeran Benawa lebih muda daripada istri Pangiri, sehingga tidak pantas menjadi raja.

Pangeran Benawa yang berhati lembut merelakan takhta Pajang dikuasai Arya Pangiri sedangkan ia sendiri kemudian menjadi bupati Jipang Panolan (bekas negeri Arya Penangsang).

Tokoh Sunan Kudus yang diberitakan Babad Tanah Jawi perlu dikoreksi, karena Sunan Kudus sendiri sudah meninggal tahun 1550. Mungkin tokoh yang mendukung Arya Pangiri tersebut adalah penggantinya, yaitu Panembahan Kudus, atau mungkin Pangeran Kudus Arya Pangiri menjadi raja Pajang sejak awal tahun 1583 bergelar Sultan Ngawantipura. Ia dikisahkan hanya peduli pada usaha untuk menaklukkan Mataram daripada menciptakan kesejahteraan rakyatnya. Dia melanggar wasiat mertuanya (Hadiwijaya) supaya tidak membenci Sutawijaya. Ia bahkan membentuk pasukan yang terdiri atas orang-orang bayaran dari Bali, Bugis, dan Makassar untuk menyerbu Mataram.

Arya Pangiri juga berlaku tidak adil terhadap penduduk asli Pajang. Ia mendatangkan orang-orang Demak untuk menggeser kedudukan para pejabat Pajang. Bahkan, rakyat Pajang juga tersisih oleh kedatangan penduduk Demak. Akibatnya, banyak warga Pajang yang berubah menjadi perampok karena kehilangan mata pencaharian. Sebagian lagi pindah ke Jipang mengabdi pada Pangeran Benawa.

Pangeran Benawa

Pangeran Benawa adalah raja ketiga Kesultanan Pajang yang memerintah tahun 1586-1587, bergelar Sultan Prabuwijaya.

Pangeran Benawa adalah putra Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir, raja pertama Pajang. Sejak kecil ia dipersaudarakan dengan Sutawijaya, anak angkat ayahnya, yang mendirikan Kesultanan Mataram.

Pangeran Benawa memiliki putri bernama Dyah Banowati yang menikah dengan Mas Jolang putra Sutawijaya. Dyah Banowati bergelar Ratu Mas Adi, yang kemudian melahirkan Sultan Agung, raja terbesar Mataram.

Selain itu, Pangeran Benawa juga memiliki putra bernama Pangeran Radin, yang kelak menurunkan Yosodipuro dan Ronggowarsito, pujangga-pujangga besar Kasunanan Surakarta. Pangeran Benawa dikisahkan sebagai seorang yang lembut hati. Ia pernah ditugasi ayahnya untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya terhadap Pajang. Waktu itu Benawa berangkat bersama Arya Pamalad (kakak iparnya yang menjadi adipati Tuban) dan Patih Mancanegara.

Sutawijaya menjamu ketiga tamunya dengan pesta. Putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga tidak sengaja membunuh seorang prajurit Tuban, membuat Arya Pamalad mengajak rombongan pulang.

Sesampai di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, bahwa Mataram berniat memberontak terhadap Pajang. Sementara itu Benawa melaporkan kebaikan Sutawijaya, bahwa terbunuhnya prajurit Tuban karena ulahnya sendiri.

Sutawijaya akhirnya terbukti memerangi Pajang tahun 1582, dan berakhir dengan kematian Sultan Hadiwijaya. Pangeran Benawa yang seharusnya naik takhta disingkirkan oleh kakak iparnya, yaitu Arya Pangiri adipati Demak.

Benawa kemudian menjadi adipati Jipang Panolan. Pada tahun 1586 ia bersekutu dengan Sutawijaya untuk menurunkan Arya Pangiri dari takhta, karena kakak iparnya itu dianggap kurang adil dalam memerintah.

Dikisahkan, Arya Pangiri hanya sibuk menyusun usaha balas dendam terhadap Mataram. Orang-orang Demak juga berdatangan, sehingga warga asli Pajang banyak yang tersisih. Akibatnya, penduduk Pajang sebagian menjadi penjahat karena kehilangan mata pencaharian, dan sebagian lagi mengungsi ke Jipang.

Persekutuan Benawa dan Sutawijaya terjalin. Gabungan pasukan Mataram dan Jipang berhasil mengalahkan Pajang. Arya Pangiri dipulangkan ke Demak. Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Sutawijaya. Namun Sutawijaya menolaknya. Ia hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram. Sejak itu, Pangeran Benawa naik takhta menjadi raja baru di Pajang bergelar Sultan Prabuwijaya.


BERBAGAI ASPEK PADA KERAJAAN PAJANG

Aspek Sosial Budaya

Pada zaman Pakubuwono I dan Jayanegara bekerja sama untuk menjadikan Pajang semakin maju dibidang pertanian sehingga Pajang menjadi  lumbung beras pada abad ke-16 sampai abad 17, kerja sama tersebut saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Kehidupan rakyat Pajang mendapat pengaruh Islamisasi yang cukup kental sehingga masyarakat Pajang sangat mengamalkan syariat Islam dengan sungguh-sungguh.

Aspek Ekonomi

Pada zaman Paku Buwono 1 (1708) ketika Ibukota Mataram masih ada di Kartasura, ada kerjasama yang baik antara Surakarta pusat dengan Jayengrana bupati Surabaya. Pada masa itu seluruh Jawa Timur kompak dalam mendukung kerjasama antara PakuBuwono 1 dan Jayengrana.

Pajang mengalami kemajuan di bidang pertanian sehingga menjadi lumbung beras dalam abad ke-16 dan 17. Lokasi pusat kerajaaan Pajang ada di dataran rendan tempat bertemunya sungai Pepe dan Dengkeng (ke dua-duanya bermata air di lereng gunung Merapi) dengan bengawan sala. Irigasi berjalan lancar karena air tanah di sepanjan tahun cukup untuk mengairi sehingga pertanian di Pajang maju.

Di zaman Kerajaan Demak baru muncul, Pajang telah mengekspor beras dengan mengangkutnya melalui perniagaan yang berupa Bengawan Sala. Sejak itu Demak sebagai negara maritim menginginkan dikuasainya lumbung-lumbung beras di pedalaman yaitu Pajang dan kemudian juga mataram, supaya dengan cara demikian dapat berbentuk negara ideal agraris maritim.
                                                                  
KEMUNDURAN KERAJAAN PAJANG

Sepulang dari perang, Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dan meninggal dunia. Terjadi persaingan antara putra dan menantunya, yaitu Pangeran Benawa dan Arya Pangiri sebagai raja selanjutnya. Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus berhasil naik takhta tahun 1583.

Pemerintahan Arya Pangiri hanya disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram. Kehidupan rakyat Pajang terabaikan. Hal itu membuat Pangeran Benawa yang sudah tersingkir ke Jipang, merasa prihatin. Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya menyerbu Pajang. Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya memerangi Sultan Hadiwijaya, namun Pangeran Benawa tetap menganggapnya sebagai saudara tua.

Perang antara Pajang melawan Mataram dan Jipang berakhir dengan kekalahan Arya Pangiri. Ia dikembalikan ke negeri asalnya yaitu Demak. Pangeran Benawa kemudian menjadi raja Pajang yang ketiga. Pemerintahan Pangeran Benawa berakhir tahun 1587. Tidak ada putra mahkota yang menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan sebagai negeri bawahan Mataram. Yang menjadi bupati di sana ialah Pangeran Gagak Baning, adik Sutawijaya. Sutawijaya sendiri mendirikan Kesultanan Mataram di mana ia sebagai raja pertama bergelar Panembahan Senopati

Kalingga atau Ho-ling (sebutan dari sumber Tiongkok) adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang muncul di Jawa Tengah sekitar abad ke-6 masehi. Letak pusat kerajaan ini belumlah jelas, kemungkinan berada di suatu tempat antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang. Sumber sejarah kerajaan ini masih belum jelas dan kabur, kebanyakan diperoleh dari sumber catatan China, tradisi kisah setempat, dan naskah Carita Parahyangan yang disusun berabad-abad kemudian pada abad ke-16 menyinggung secara singkat mengenai Ratu Shima dan kaitannya dengan Kerajaan Galuh. Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.

Peninggalan Sejarah Kerajaan Pajang
1.        Masjid Leweyan
Merupakan bangunan yang didirikan oleh Jaka Tingkir yang merupakan raja pertama di kerajaan Pajang.
2.      Makam
Salah satu peninggalan kerajaan pajang adalah makam Ki Ageng Henis. Makam tersebut dapat ditemukan di sebelah Masjid Laweyan
3.       Batik
Tradisi membatik merupakan suatu peninggalan kerajaan pajang. Teknik membatik ini dikenalkan oleh Ki Ageng Henis
https://c2.staticflickr.com/6/5106/5648205351_5be5fc2b6c.jpghttps://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgNE50bzjQLtqt1GLNS-dBLOiE4R98E1bmYHQ1b_lnpqVT4Bc5b8b73l1zQkCnGPcezgbhzg0HsvotwgaUVp3evdcDypUdll4K26pCdhyphenhyphentIEUJBc5-eRxlqWr1O1eRHVlYiteaThn9iFKE/s320/DSC08075.JPG





















KERAJAAN MATARAM ISLAM
Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah berdiri pada abad ke-17. Kerajaan ini dipimpin suatudinasti keturunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang mengklaim sebagai suatu cabang ningrat keturunan penguasaMajapahit. Asal-usulnya adalah suatu Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang, berpusat di "Bumi Mentaok" yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya (Panembahan Senapati), putra dari Ki Ageng Pemanahan.
Kerajaan Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura. Negeri ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya firma dagang itu, namun ironisnya malah harus menerima bantuan VOC pada masa-masa akhir menjelang keruntuhannya.
Mataram merupakan kerajaan berbasis agraris/pertanian dan relatif lemah secara maritim. Ia meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti kampung Matraman di Batavia/Jakarta, sistem persawahan di Pantura Jawa Barat, penggunaan hanacaraka dalam literatur bahasa Sunda, politik feodal di Pasundan, serta beberapa batas administrasi wilayah yang masih berlaku hingga sekarang.
AWAL BERDIRI KERAJAAN MATARAM ISLAM
Sutawijaya naik tahta setelah ia merebut wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijaya dengan gelar Panembahan Senopati. Pada saat itu wilayahnya hanya di sekitar Jawa Tengah saat ini, mewarisi wilayah Kerajaan Pajang. Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah yang terletak kira-kira di timur Kota Yogyakarta dan selatan Bandar Udara Adisucipto sekarang. Lokasi keraton (tempat kedudukan raja) pada masa awal terletak di Banguntapan, kemudian dipindah ke Kotagede. Sesudah ia meninggal (dimakamkan di Kotagede) kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.
Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena dia wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutanKrapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yang artinya Raja (yang) wafat (di) Krapyak. Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsangpada masa pemerintahan Mas Rangsang,Mataram mengalami masa keemasan.

RAJA-RAJA YANG MEMERINTAH DI KERAJAAN MATARAM ISLAM
 Kiai Ageng Pamanahan
Ki Ageng Pamanahan (Bagus Kacung) adalah anak dari Kiai Gede Ngenis dari sela. Diberi nama Pamenahan sesuai dengan daerah yang dikuasakanya kepada pajang yakni di Manahan, sebelah barat solo. Ki Ageng Pamananahan ini mendapatkan hadiah dari Raja pajang yang membuat sayembara jika siapa saja yang bisa membunuh Aria Penangsang (Raja Jipang) maka dia akan dihadiahkan tanah Pati dan Mataram. Ki Ageng Pamanahan ini bersama Ki Panjawi menawarkan diri untuk membunuh Aria Penangsang dan berhasil membunuh Aria Penangsang dengan Nasihat Ki Juru Martani serta dibantu oleh Sutawijaya. Karena kerendahan hati Ki Ageng Pamenahan ia lebih memilih mataram yang dulunya hutan untuk dibangunkan suatu kerajaan. Sedangkan Ki Panjawi memilih Pati.
Panembahan Senapati (Sutawijaya)
Setelah wafatnya Ki Gede Mataram, ia digantikan oleh Bagus Srubut / senapati Ingalaga / Sutawijaya pada masa mudanya bergelar Ngabehi loring Pasar ia adalah menantu Sultan Pajang atau Sultan Hadiwijaya.( Sejarah Nasional Indonesi III, 2010:56). Atas anjuran Sultan Pajang Senapati menjadi Raja Kerajaan Mataram. Dapat dikatakan bahwa pada masa Panembahan Senapat ini adalah masa dimana masa awal kebangkitan Kerajaan Mataram Islam. Panembahan Senapati adalah anak dari Ki Ageng Pamanahan.
Panembahan senapati merupakan raja pertama Kerajaan Mataram Islam. Pada masa raja ini, mataram yang semulanya desa mentaok ini berkembang menjadi ramai dan besar, sehingga disebut sebagai Kota Gedhe (Kota Besar). Senapati juga ditunjuk oleh pangeran benawa untuk memerintah kerajaan Pajang yang saat itu pangeran benawa merasa tak kuasa, untuk menjadi adipati pajang, namun Senapati menolak.
Pada masa Panembahan Senapati, Senapati memperluas wilayah kerajaan dari mulai Pajang, Demak, serta melakukan peperangan terhadap daerah-daerah penting seperti Madiun,Sebagian daerah Surabaya, Pasuruan, Kediri, Bojonegoro, Tuban, dibawah kekuasaan Mataram. Hingga akhirnya Senapati wafat pada tahun 1523 H atau 1610 M dan digantikan oleh Raden Mas Jolang anaknya.
Menurut Babad Tanah Djawi (H.J. DE Graaf, 1985: 126)
Sebelum meninggal, Raja memberi amanat kepada Jolang, putranya, untuk menggantikannya sebagai raja, meskipun masih muda, Pelanggaran terhadap amanat ini akan terlanda amarah Allah. Mandaraka dan Mangkubumi harus menobatkanya.
Setelah Senapati tiga tahun menjadi raja, ia jatuh sakit dan meninggal. Ia dimakamkan disebelah selatan masjid, di ujung kaki makam ayahnya.
Raden Mas Jolang ( Panembahan Anyakrawati)
Raja kedua dalam silsilah Kerajaan Mataram Islam. Masa pemerintahan raja ini sekitar 12 tahun (1606-1613). Raden Mas Jolang ini mendapat gelar Panembahan Anyakrawati. Raja ini, beberapa kali melakukan serangan terhadap kerajaan-kerajaan yang ingin melepaskan diri dari Kerajaan Mataram Islam. Juga untuk meneruskan penyerangan yang telah dilakukan seperti ayahnya.
Tidak banyak berita atau sumber sejarah yang mencatata tentang Raden Mas Jolang ini, hingga akhirnya Panembahan Anyakrawati wafat pada tahun 1613 di desa Krapyak. Desa ini merupakan desa tempat perburuhan. Raja ini mendapat gelar dan lebih dikenal dengan Panembahan Sedo Ing Karapyak dan dimakamkan di makam Pasar Gede, dibawah makam ayahnya.
Raden Mas Rangsang (Sultan Agung)
Setelah wafatnya Raden Mas Jolang (Panembahan Anyakrawata), kemudian digantikan oleh anakanya yakni Raden Mas Rangsang. Bisa dibilang bahwa Raden Mas Rangsang ini merupakan Raja Ketiga. Raden Mas Rangsang merupakan putra sulung Mas Jolang. Masa Pemerintahanya merupakan masa puncak kejayaan Kerajaan Mataram Islam.
Raden Mas Rangsang mendapatkan Gelar Sultan Agung Senapati Ingalaga Ngabdurchman. Masa pemerintahanya sekitar 1613-1645. Mas Rangsang lebih dikenal sebagai Sultan Agung. Sultan Agung banyak menguasai Jawa Timur, Jawa Tengah dan Sebagian Jawa Barat. Dalam masa pemerintahanya, ia dapat menaklukan kerajaan Giri. Seperti yang telah diramalkan oleh Sunan Giri bahwa kelak keturunan Kiai Ageng Pamenahan akan menguasai Jawa. Dan hal tersebut dapat dibuktikan dengan penaklukan-penaklukan dan taktik peperangan yang dilakukan Sultan Ageng ataupun raja-raja terdahulu.
Selain kepada kerajaan-kerajaan di Jawa, Sultan Ageng juga melakukan peperangan terhadap VOC. Dan hanya Sultan Ageng lah yang berani melakuakn penyerangan terhadap VOC yang ingin merebut Jawa serta dianggap membahayakan Batavia (Jakarta). Dibawah pemerintahan Sultan Ageng ini juga Kerajaaan Mataram Islam berkembang menjadi negara Agraris. Untuk memperluas wilayahnya, Sultan Agung cenderung melakukan politik perkawinan untuk memperluas wilayahnya. Seperti yang dilakukan Sultan Ageng Dalam menaklukan Pati. (Sejarah Daerah Jawa Tengah, 1978:69). Sultan Ageng wafat pada tahun 1645 dan di makamkan di Imogiri. Hanya Sultan Ageng yang dimakamkan di Imogiri.
Amangkurat I
Setelah Sultan Ageng wafat digantikan oleh anaknya yag bernama Amangkurat. Amangkurat I mendapat gelar Amangkurat Senapati Ingalaga Ngabdur Rahman Sayidin Panatagama. Amangkurat I memindahkan pusat kerajaan dari kota Gedhe ke Kraton Plered. Perpindahanya terjadi pada tahun 1569 tahun jawa atau 1647 M menurut Babad Tanah Djawi.
Amangkurat I memerintah pada tahun 1638-1677. Amangkurat I ini sifatnya berbeda dengan ayahnya yakni Sultan Agung. Amangkurat I sangat dekat dengan VOC, yang menyebabkan tercampurnya urusan politik kerajaan Mataram Islam. Permusuhannya dengan Adipati Anom juga menyebabkan para tetua dan kerabat kerajaan tidak menyukai sifat Amangkurat I. hingga akhirnya Amangkurat I meninggal pada tanggal 10 Juli 1677 dan dimakamkan di daerah tegal Tepatnya di Telagawangi. Dan sampat mengangkat Sunan Mataram atau Amangkurat II sebagai Penggantinya.
BERBAGAI ASPEK DARI  KERAJAAN MATARAM ISLAM

Aspek Sosial Budaya
Pada masa pertumbuhan dan berkaitan dengan masa pembangunan,maka Sultan Agung melakukan usaha-usaha antara lain untuk meningkatkan daerahdaerah persawahan dan memindahkan banyak para petani ke daerah Krawang yang subur. Atas dasar kehidupan agraris itulah disusun suatu masyarakat yang bersifat feodal. Para pejabat pemerintahan memperoleh imbalan berupa tanah garapan (lungguh), sehingga sistem kehidupan ini menjadi dasar munculnya tuan-tuan tanah di Jawa.

Pada masa kebesaran Mataram, kebudayaan juga berkembang antara lain seni tari, seni pahat, seni sastra dan sebagainya. Di samping itu muncul Kebudayaan Kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayan asli, Hindu, Buddha dengan Islam. Upacara Grebeg yang bersumber pada pemujaan roh nenek moyang berupa kenduri gunungan yang merupakan tradisi sejak zaman Majapahit dijatuhkan pada waktu perayaan hari besar Islam, sehingga muncul Grebeg Syawal pada hari raya idul Fitri.; Grebeg Maulud pada bulan Rabiulawal. Hitungan tahun yang sebelumnya merupakan tarikh Hindu yang didasarkan pada peredaran matahari (tarikh Samsiah) dan sejak tahun 1633 diubah menjadi tarikh Islam yang berdasarkan pada peredaran bulan (tarikh Kamariah). Tahun Hindu 1555 diteruskan dengan perhitungan baru dan dikenal dengan Tahun Jawa.

Adanya suasana yang aman, damai dan tenteram, maka berkembang juga Kesusastraan Jawa. Sultan Agung sendiri mengarang Kitab Sastra Gending yang berupa kitab filsafat. Demikian juga muncul kitab Nitisruti, Nitisastra, dan Astabrata yang berisi ajaran tabiat baik yang bersumber pada kitab Ramayana.

Aspek Ekonomi

Letak geografisnya yang berada di pedalaman didukung tanah yang subur, menjadikan kerajaan Mataram sebagai daerah pertanian (agraris) yang cukup berkembang, bahkan menjadi daerah pengekspor beras terbesar pada masa itu. Rakyat Mataram juga banyak melakukan aktivitas perdagangan laut. Hal ini dapat terlihat dari dikuasainya daerah-daerah pelabuhan di sepanjang pantai Utara Jawa. Perpaduan dua unsur ekonomi, yaitu agraris dan maritim mampu menjadikan kerajaan Mataram kuat dalam percaturan politik di nusantara.

KEMUNDURAN KERAJAAN MATARAM ISLAM
Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Plered (1647), tidak jauh dari Karta. Selain itu, ia tidak lagi menggunakan gelar sultan, melainkan "sunan" (dari "Susuhunan" atau "Yang Dipertuan"). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum (1677) ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5 km sebelah barat Pajang karena kraton yang lama dianggap telah tercemar.
Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I (Puger) sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in exile" hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon.
Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaituKesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli waris" dari Kesultanan Mataram.
PENINGGALAN KERAJAAN MATARAM ISLAM
Kerajinan Kaleng                                                                  Segar Wanna dan Syuh Brata
Image and video hosting by TinyPic                       Image and video hosting by TinyPic
Kalang Obong                                                           Masjid Agung Negara
Image and video hosting by TinyPic                     Image and video hosting by TinyPic
Kue Kipo                                                                    Gerbang Makam Kota Gede
Image and video hosting by TinyPic                          Image and video hosting by TinyPic
Pertapaan Kembang Lampir

Image and video hosting by TinyPic

1 komentar: